Asyura' di Karbala




Hari penuh sejarah akan hadir beberapa hari lagi. Di saat ditawarinya sebuah janji; terhapusnya seluruh dosa kecil yang telah lalu dan yang akan datang. Janji ini dialamatkan kepada seluruh umat Islam yang berpuasa pada tanggal 10 Muharram (Asyura'). Dan hari itu akan segera tiba dan kita menyambutnya dengan puasa untuk mendapatkan janji itu.


Sebagai umat Islam, kita tentu bahagia karena telah diberi peluang untuk mendapatkan sayembara itu. Namun, kita juga tidak akan pernah melupakan sebuah peristiwa besar yang terjadi di Iraq, empat belas abad yang silam. Tepatnya di sebuah tempat bernama Karbala. Seluruh umat Islam akan bersedih mengenang peristiwa itu. Di saat kepala cucu Rasulullah saw, Husain bin Ali ra. dipisahkan dari jasadnya dan dikirimkan kepada sang Raja, Yazid bin Mu'awiyah.

Peristiwa itu terjadi saat Sayidina Husain bin Ali bersama rombongannya sedang dalam perjalanan menuju kota Kufah untuk memenuhi panggilan rakyat Iraq yang berjanji akan membaiatnya sebagai khalifah menggantikan ayahandanya, Ali bin Abi Thalib.

Semula, banyak yang tidak menyetujui kepergiannya. Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar menyarankan agar tetap tinggal di kota Madinah. Mareka masih trauma, ketika penduduk Kufah menghianati kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib. Tapi, saran itu tidak bisa menggagalkan rencana bulat Husain bin Ali ra. Beliau tetap berangkat.

Keberangkatannya terdengar oleh khalifah Yazid bin Mu'awiyah. Ia segera memerintah pasukannya untuk menghadang rombongan Husain. Maka berangkatlah 4000 tentara yang dipimpin Ibnu Ziyad menghadang rombongan Husain yang hanya berjumlah puluhan orang dari kerabat dekat Rasulullah di sebuah tempat bernama Karbala.

Pertempuran tidak sebanding ini pun tak terelakkan dan berakhir dengan dibantainya seluruh rombongan kecuali Siti Zainab dan si kecil, Ali Zainal Abidin bin Husain.

Husain bin Ali ra. gugur dengan tujuh puluh 70 luka di tubuhnya. Kepalanya dipotong dan kemudian dipersembahkan kehadapan Yazid sebagai bukti kesetiaannya.

Nasib Sayidina Husain bin Ali ra. sebenarnya telah tercium oleh sang kakek, Rasulullah saw. Dengan Mukjizat-nya, beliau mengetahui musibah yang akan menimpa cucunya tercinta.

Suatu ketika, di saat Rasulullah sedang menggendong Sayidina Husain, tiba-tiba beliau meneteskan air mata. Asma', teman karib Fathimah ra, yang menyaksikan kejadian itu bertanya dan Rasulullah menjawab, "Anakku ini akan dibunuh dengan kejam oleh orang-orang yang durhaka. Jangan kau sampaikan berita ini kepada ibunya. Kasihan, dia baru melahirkan". (lihat: al-Kamil fi al-Tarikh, juz 3).

Dalam riwayat lain, Rasulullah memberikan segumpal tanah kepada istrinya, Ummu Salamah sambil berkata, "Taruhlah tanah ini dalam botol. Jika warnanya berubah menjadi merah maka saat itulah anakku, Husain, dibunuh oleh orang-orang dzalim"

Jika nurani kita tidak mati, tentu hati kita akan menangis, mengutuk perbuatan keji ini. Dan, nurani Yazid tidak mati, mungkin. Dia menangis sambil berkata, "Cukuplah sebagai bukti kesetiaan kalian padaku tanpa harus memotong kepala orang mulia ini".

Tetapi kita tidak tahu, apakah arti dari tangisan Yazid itu. Karena terkadang kita menangis saat orang yang paling kita cintai pergi meninggalkan kita dan terkadang kita juga menangis karena bertemu dengan kekasih kita. Wallahu A'lam. Apakah tangisan Yazid karena sebab yang pertama atau yang kedua.

Tragedi tragis itu tak akan pernah terlupakan dan akan selalu dikenang oleh seluruh umat Islam dan dicatat sebagai 'dosa terbesar' perjalanan sejarah khilafah Umawiyah, terutama bagi umat Syi'ah, sebagai kelompok yang men'dewa'kan keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib ra.

Bagi mereka, 10 Muharram adalah hari yang pa-ling agung mengalahkan hari-hari besar lainnya. Dalam semboyan mereka, "Kullu yaumin 'asyura', wa kullu ardhin karbala'".

Derita Husain di padang Karbala adalah derita seluruh umat Islam. Dan, untuk mengenang peristiwa itu, setiap tanggal 10 Muharram orang Syi'ah mengadakan upacara khusus.

Di Pakistan, Iran dan Irak, umat Syi'ah memperingati hari 10 Muharram dengan sebuah upacara yang -bagi umat Sunni- sangat tidak masuk akal; menyiksa dirinya sendiri. Diiringi tangisan historis, mereka melukai tubuhnya dengan pisau, pedang, cambuk dan apa saja yang bisa mengeluarkan darah mereka. Hal ini dilakukan semata untuk mengenang derita Sayidina Husain bin Ali.

Menurut Syi'ah, hukumnya 'haram' bersenang-senang di tanggal 10 Muharram, di saat sang pemimpin agung disiksa oleh orang-orang durhaka, seperti yang telah disebutkan oleh Rasulullah, empat belas abad yang silam. Semakin banyak darah yang mengucur dari tubuhnya dan semakin parah mereka menyiksa dirinya, maka semakin sempurna pulalah bukti kecintaannya.

Sebagai umat Islam, kita harus cinta kepada ahl bait dan semua katurunan Rasulullah saw. Ideologi kita memang berbeda dengan ideologi Syi'ah, tapi perbedaan itu tidak boleh mengurangi rasa cinta dan ta'dzim kita kepada ahl bait. Imam Syafi'i ra. mengatakan, "Jika aku dituduh orang Syi'ah karena sangat mencintai keluarga Rasulullah, maka saksikanlah wahai sekalian manusia dan jin bahwa aku adalah Syi'ah". Rasulullah bersabda, "Aku cinta kepada anakku (Hasan Husain ra.) dan kepada orang-orang yang mencintai anakku". (HR. Bukhari)

Tapi, apakah dengan cara demikian kita menampakkan ekspresi duka kita mengenang peristiwa di padang Karbala? Tentu jawabnya adalah tidak! Perbuatan yang dilakukan oleh kelompok Syi'ah itu adalah warisan orang-orang jahiliyah, budaya orang yang tidak mengenal sopan santun kepada tuhannya.

Menangisi kematian seseorang adalah wajar. Karena kita punya nurani. Nabi saw. pun meneteskan air mata ketika putra satu-satunya, Ibrahim, yang diharapkan bisa meneruskan keturunannya meninggal dunia. Meski ketika hal itu ditanyakan oleh para shahabatnya, Rasul menjawab,"(Air mataku) ini adalah rahmat dari Tuhan". Tetapi, apa yang di lakukan oleh orang Syi'ah setiap 10 Muharram adalah 'ritual' yang sangat tidak Islami.

Rasulullah dengan tegas mengecam perbuatan itu. "Tidak termasuk golonganku, orang yang memukuli pipinya dan menyobek bajunya"(HR. Bukhari).

Al-Qur'an dengan tegas melarang umat Islam menjurumuskan diri ke dalam kebinasaan. "Dan janganlah kalian lemparkan diri kalian ke dalam kerusaan" (al-Baqarah, 195-196 ). Majelis Ulama Indonesia (MUI), beberapa tahun yang lalu, mengeluarkan fatwa bahwa menyiksa diri sendiri seperti yang dilakukan oleh orang-orang Syi'ah hukumnya adalah haram dan tidak bisa ditoleransi, apapun alasannya.

Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan, "Setiap orang Islam sepantasnya berduka dengan terbunuhnya Husain bin Ali ra. karena baliau adalah pimpinan orang-orang Islam, ulama para shahabat dan cucu tercinta Rasulullah. Tetapi, apa yang dilakukan oleh orang-orang Syi'ah sungguh di luar akal manusia. Barangkali, kebanyakan mereka melakukan hal itu karena riya' dan permainan belaka". Ibnu Katsir memang pantas curiga. Sebab, mereka melakukan acara ritual itu hanya pada tanggal 10 Muharram. Mengapa tidak melakukan acara yang sama setiap tangga 17 Ramadlan? Ketika Ali bin Abi Thalib ditikam dengan pedang beracun oleh Abdurrahman bin Muljim al-Murady Bukankah Ali bin Abi Thalib lebih mulia dari putranya? wallahu a'lam bishowaab.

1 Muharram 1429 H.
di kutip dari :
Buletin Istinbat, Edisi 055 PP sidogiri pasuruan jawa timur

ليست هناك تعليقات: